Bila Cinta ini Tak terbalas

Pernahkah kamu merasakan
bahwa kamu mencintai seseorang
meski kamu tahu ia tak sendiri lagi
meski kamu tahu cintamu tak berbalas
tapi kamu tetap mencintainya

Pernahkah kamu merasakan
bahwa kamu sanggup melakukan apa saja demi seseorang yang kamu cintai
meski kamu tahu ia takkan pernah peduli ataupun mengerti

Pernahkah kamu merasakan hebatnya cinta
tersenyum kala terluka
menangis kala bahagia
bersedih kala bersama, dan
tertawa kala berpisah

Aku pernah ………

Aku pernah tersenyum meski kuterluka
karena kuyakin Rabbku tak menjadikannya untukku

Aku pernah menangis kala bahagia
karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja

Aku pernah bersedih kala bersamanya
karena kutakut aku akan kehilangannya suatu saat nanti, dan……

Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya
karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki
dan aku yakin Rabbku telah menyiapkan cinta yang lain untukku.

Aku tetap bisa mencintainya
meski ia tak dapat kurengkuh dalam pelukanku
karena memang cinta ada dalam jiwa, dan bukan ada dalam raga.

Surat Cinta Seorang Ikhwan

ini adalah sebuah surat cinta dari seorang ikhwan, yang ditujukan kepada seorang akhwat. Surat ini menyiratkan perasaan seseorang ikhwan yang sudah memendam perasaan terhadap seorang akhwat selama 2 tahun.

Berikut adalah isi surat yang telah dituliskan oleh'y :


Assalamu’alaikum wahai engkau yang melumpuhkan hatiku


Tak terasa dua tahun aku memendam rasa ini, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.

Takukah engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa aku dengan mudah berkata “cinta” kepada mereka yang tak kucintai namun kepadamu, lisan ini seolah terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.

Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun seribu kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku harus mengalah.

Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu memperbaiki saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang wanita, namun satu pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.

Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangku tentangmu karena sebahagian prasangkaku adalah suatu kesalahan, Namun di titik lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).

wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin berpacaran denganmu.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun tak akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-saat indahku hanya akan kuberikan kepada bidadari-ku nanti. Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih bidadari-ku bila dia bukanlah dirimu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku telah menjadikanmu sebagai kekasihku. Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.
Aku yang tidak mengerti diriku…

Ingin ku meminta kepadamu, sudikah engkau menungguku hingga aku siap dengan tegak mengungkapkan perasaanku padamu?! Namun wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu… aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.

Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.